Sejarah Kerajaan Aceh, dari Awal Berdiri hingga Masa Keruntuhannya

Sejarah Kerajaan Aceh - Kerajaan Aceh merupakan salah satu kerajaan yang ada di Nusantara di kala sebelum kemerdekaan. 

 

Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. 

 

Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).

 

Kerajaan Aceh di Ujung Pulau Sumatera

sejarah kerajaan aceh
Sejarah Kerajaan Aceh


Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. 

 

Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. 

 

Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. 

 

Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)

 

Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. 

 

Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. 

 

Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. 

 

Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. 

 

Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.

 

Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Sejarah Kerajaan Aceh
Sejarah Kerajaan Aceh


Kesultanan Aceh Darussalam mulai berdiri ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. 

 

Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. 

 

Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. 

 

Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).

 

Sejarah Kerajaan Aceh: Ali Mughayat Syah
Sejarah Kerajaan Aceh: Ali Mughayat Syah


Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496yang sebelumnya telah dirintis pada abad ke-15 oleh Mudzaffar Syah. 

 

Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayahKerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.

 

Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. 

 

Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya. 

 

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar tetapi pada saat pemerintahan.

 

Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. 

 

Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530 dan berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).

 

Kehidupan Politik Kerajaan Aceh

Sejarah Kerajaan Aceh: Ali Mughayat Syah
Sejarah Kerajaan Aceh: Ali Mughayat Syah

Penguasa yang Penah Memimpin Aceh

Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M karangan Naruddin Ar-raniri yang berisi silsilah sultan-sultan aceh, dan berita-berita eropa. 

 

Kerajan aceh telah berhasil membebaskan diri dari kaerajaan pedir. Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :

 

  1. Sultan Ali Mughayat Syah
    Adalah raja kerajaan aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528 M. Dibawah kekuasaannya, kerajaan aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di daerah Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap bangsa portugis di malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.

  2. Sultan Salahuddin
    Wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah pemerintahan beralih kepada purtanya yang bergelar Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M. Selama menduduki tahta kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosotan yang tajam. Oleh karena itu Sultan Salahuddin digantikan saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah Al-kahar.

  3. Sultan Alauddin Riayat Syah Al-kahar
    Ia memerintah aceh dari tahun1537 – 1568 M. Ia melakukan berbagai bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan. Pada pemerintahannya kerajaan aceh melakukan perluasan wilayah kekuasaannya seperti melakukan serangan terhadap kerajaan malaka ( tetapi gagal ). Daerah kerajaan Aru berhasil diduduki. Pada masa pemerintahannya kerajaan aceh mengalami masa suram banyak pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi.

  4. Sultan Iskandar Muda
    Ia memerintah kerajaan aceh tahun 1607 – 1636 M. Dibawah pemerintahannya kerajaan aceh mengalami kejayaan, tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan islam, bahkan menjadi bandar transito yang dapat menghubungkan dengan perdagangan islam di barat.


    Untuk mencapai kebesaran kerajaan aceh Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan dengan menyerang portugis dan kerajaan johor di semenanjung malaya.


    Tujuannya untuk menguasai jalur perdagangan di selat malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Sulata Iskandar Muda juga menolak permintaan Inggris dan Belanda untu membeli lada di pesisir sumatra bagian barat.


    Selain itu, kerajaan aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah sepertu Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri sehingga kerajaan aceh memiliki wilayah yang sangat luas.
    Pada masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal di aceh Syech Syamsuddin bin Abdullah Asy-samatrani dan Syech Ibrahin Asy-syamsi. Setelah sultan itu wafat digantikan oleh menantunya Iskandar Thani.

  1. Sultan Iskandar Thani
    Ia memerintah tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahannya ia melanjutkan tradisi Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya muncul seorang ulama besar yang bernama Nuruddin Ar-raniri.


    Ia menulis buku sejarah aceh berjudul Bustanu’salatin. Sebagai ulama besar Nuruddin Ar-raini sangat dihormati Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta rakyat aceh.


    Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal tahta kerajaan dipegang oleh putri dari permasyurinya dengan gelar Putri Sri Alam Permaisyuri ( 1641 – 1667 M ).

  • Sultan Sri Alam ( 1575 – 1576 M).
  • Sultan Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
  • Sultan Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
  • Sultan Buyong ( 1589 – 1596 M).
  • Sultan Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596 – 1604 M).
  • Sultan Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
  • Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
  • Sultan Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
  • Sultan Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).
  • Sultan Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
  • Sultan Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
  • Sultan Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
  • Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
  • Sultan Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
  • Sultan Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
  • Sultan Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
  • Sultan Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
  • Sultan Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
  • Sultan Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).
  • Sultan Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
  • Sultan Sulaiman Syah ( 1785 - …. M).
  • Alauddin Muhammad Daud Syah
  • Sultan Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
  • Sultan Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
  • Sultan Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
  • Sultan Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
  • Sultan Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
  • ltan Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
  • Sultan Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).

Masa Kejayaan Kerajaan Aceh

Sejarah Kerajaan Aceh
Sejarah Kerajaan Aceh

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. 

 

Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. 

 

Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. 

 

Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. 

 

Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.

 

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. 

 

Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.

Sejarah Kerajaan Aceh
Sejarah Kerajaan Aceh

Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.

 

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid.

 

Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

 

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh

Sejarah Kerajaan Aceh
Sejarah Kerajaan Aceh

Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. 

 

Setelah dapat menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. 

 

Dengan kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. 

 

Mata pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.


Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

  • Minyak tanah dari Deli,
  • Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
  • Kapur dari Singkil,
  • Kapur Barus dan menyan dari Barus.
  • Emas di pantai barat,
  • Sutera di Banda Aceh.

 

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.

 

Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.

 

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. 

 

Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh

 

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Aceh

Sejarah Kerajaan Aceh
Sejarah Kerajaan Aceh

Kehidupan sosial

Meningkatnya kemakmuran telah menyebabkan berkembangnya sistem feodalisme dan ajaran agama islam di aceh. 

 

Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil dalam golongan Teuku, sedangkan kaum ulama yang memegang peranan penting dalam agama disebut golongan Teungku, namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan aceh. 

 

Sejak berkuasanya Kerajaan Perlah ( abad ke-12 M samapai ke-13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan Sunnah Wal Jamma’ah. 

 

Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh perlindungan dan berkembang sampai di daerah-daerah kekuasaan aceh.

 

Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai. 

 

Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah Wal Jamma’ah mengembangkan islam beraliran Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. ( Taman raja-raja dan berisi adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).

 

Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf terkenal dari gujarad yang bernama Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi sejarah Aceh. Ajaran Nurruddin Ar-Raniri bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin As-Samatrani. 

 

Hal itu menyebabkan perpecahan di kerajaan aceh pada tahun 1641, Sultan Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal aceh mengalami kemunduran di berbagai bidang.

 

Kehidupan Budaya Kerajaan Aceh

Kejayaan yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui dalam bidang kebudayaan. 

 

Walaupun ada perkembangan dalam bidang kebudayaan, tetapi tidak sepesat perkembangan dalam aktifitas perekonomian. Peninggalan kebudayaan yang terlihat nyata adalah Masjid Baiturrahman.

 

Keruntuhan Kerajaan Aceh

Keruntuhan Kerajaan Aceh
Keruntuhan Kerajaan Aceh

Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

 

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an

 

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. 

 

Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

 

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. 

 

Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. 

 

Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. 

 

Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. 

 

Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. 

 

Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. 

 

Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

 

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. 

 

Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. 

 

Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan.

 

Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

 

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. 

 

Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. 

 

Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.

 

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. 

 

Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. 

 

Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). 

 

Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.

 

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. 

 

Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. 

 

Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.

 

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. 

 

Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. 

 

Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. 

 

Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. 

 

Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.