Sejarah Ketika Kerajaan Siak Bertikai dengan Kerajaan Pelalawan

Sejarah Ketika Kerajaan Siak Bertikai dengan Kerajaan Pelalawan
Sejarah Ketika Kerajaan Siak Bertikai dengan Kerajaan Pelalawan

Swarariau.com, Sejarah dan Budaya -- Kerajaan Siak merupakan salah satu kerajaan yang terletak di Provinsi Riau ini merupakan kerajaan yang paling banyak ditemukan sisa-sisa yang menjadi sumber sejarah.

 

Kerajaan ini merupakan sikap seorang Raja Kecik dari Kerajaan Johor yang menghindar dari dampak besar akibat perang saudara dalam perebutan kekuasaan di Kerajaan Johor kala sang penguasa kala itu mangkat.

 

Nah, selain kerajaan Siak juga tercatat nama Kerajaan Pelalawan yang saat ini sudah berubah menjadi Kabupaten Pelalawan yang juga termasuk kedalam wilayah administratif Provinsi Riau.

 

Sejarah Singkat Kerajaan Pelalawan

Menurut beberapa sumber mengatakan bahwa Pelalawan berasal dari kata “Lalau” yang artinya “cadang”.

 

Seiring waktu berjalan sebutan itupun menjadi Pe-lalau-an yang diartikan sebagai “daerah Pen-cadang-an” (Tempat yang pernah dicadangkan).

 

Sejarah mula menuturkan kepada kita semua bahwa kerajaan ini semula bernama Kerajaan Tanjung Negeri.

 

Tercatat nama Maharaja Dinda II sebagai Rajanya pada kurun waktu 1720 - 1750 Masehi, kerajaan ini berdiri dibawah kekuasaan Sultan Johor.

 

Selanjtunya, pada tahun 1725 M, Maharaja Dinda II memindahkan Pusat Kerajaan Tanjung Negeri yang kala itu berada di Sungai Nilo yang kemudian dipindahkan ke Hulu Sungai Rasau.

 

Mengapa Maharaja Dinda II memindahkan pusat kerajaan Tanjung Negeri?

Dalam catatan beberapa sumber mengatakan bahwa kala Kerajaan Tanjung Negeri dipimpin oleh Maharaja Wangsa Jaya (1686 - 1691 M), Kerajaan Negeri Tanjung sudah mulai terserang penyakit.

 

Kebijakan raja selanjutnya yaitu Maharaja Dinda II tak menginginkan rakyatnya terus terserang penyakit sehingga dipindahlah pusat Kerajaan Tanjung negeri tersebut dan mengubah namanya menjadi Kerajaan Pelalawan.

 

Perang Saudara di Kerajaan Johor

Kerajaan Johor mengalami masa yang sulit ketika terjadi perang saudara antara Raja Kecik melawan Tengku Sulaiman.

 

Kala itu Raja Kecik mengalami kekalahan dan melarikan diri ke daerah yang sekarang kita kenal dengan nama Kabupaten Siak.

 

Pada waktu itu Bendahara Padang Saujana dan anaknya Tengku Sulaiman meminta agar raja Kecik tunduk kepada kekuasaan yang mereka menangkan. Tengku Sulaiman menjadi raja selanjutnya dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah Johor.

 

Karena tak ingin tunduk akhirnya Raja Kecik memilih meninggalkan Kerajaan Johor dan pergi ke wilayah Sumatera (wilayah kabupaten Siak) untuk mendirikan negeri baru di sekitar sungai yang sekarang juga kita kenal dengan nama sungai Siak.

 

Berdirilah sebuah Negeri Baru yang dipimpin oleh Raja Kecik ini, disinilah beliau mulai membuka situasi kehidupan baru dan terus mengalami kemajuan yang sanat pesat.

 

Atas alasan tidak bersedia untuk tunduk serta mengakui kekuasaan yang sudah beralih kepada Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya, karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor.

 

Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnya Sultan Alauddin Riayat Syah II (Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.

 

Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui

 

Kesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat beliau adalah pewaris sah Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Shah II (SultanJohor terdahulu).

 

Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.

 

Serangan Siak Sri Indrapura ke Pelalawan?

Sejarah mencatat terdapat dua  kali serangan yang digencarkan oleh Kerajaan Siak terhadap Kerajaan Pelalawan.

 

Serangan tersebut digencarkan melaui darat dan air sekitar tahun 1797 – 1810 Masehi.

 

Dalam peperangan ini mulailah muncul beberapa tokoh misalnya: Said Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan gurunya Panglima Katan, Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima Garang dan yang lainnya.

 

Kapal Baheram...

Peperangan antara Kerajaan Siak dan Pelalawan semakin tak terhindarkan. 

 

Kala itu seorang penasehat kerajaan yang dikenal dengan nama Said Osman Syahabuddin, beliau adalah ayah dari Sultan Syarif Ali yang berkuasa saat itu, merancang sebuah rencana besar untuk menyerang Kerajaan Pelalawan melalui jalur air.

 

Sang Penasehat mengetahui bahwa benteng pertahanan Kerajaan Pelalawan terdapat di Kuala Sungai Mempusun. 

 

Keinginan Kerajaan Siak untuk menghancurkan benteng pertahanan Kerajaan Pelalawan mulai dipersiapkan secara matang.

 

Salah satu persiapan mereka adalah menyiapkan sebuah kapal yang besar dan dilengkapi dengan rancangan militer yang kokoh untuk menyerang Kerajaan Pelalawan. Kapal Militer besar nan kokoh ini bernama “Kapal Baheram”.

 

Berbagai persiapa sudah mereka lakukan, kapal ‘Baheram’ yang akan mereka gunakan untuk menyerang Kerajaan Pelalawan juga telah siap. 

 

...Akhirnya, 


Sekitar tahun 1797 Masehi pasukan dari Kerajaan Siak yang didalamnya tercatat nama Said Osman mulai menyerang Kerajaan Pelalawan melalui jalur air dengan kapal Baheram.

 

Serangan Pasukan Said Osman disambut balik oleh pasukan dari Kerajaan Pelalawan dibawah pimpinan hulubalang Engkok.

 

Serangan yang digencarkan oleh pasukan hulubalang Engkok tak terelakkan, kapal Baheram terkena tembakan meriam dari pasukan Kerajaan Pelalawan.

 

Pasukan Said Osman dari Kerajaan Siak berhasil dipukul mudur, Kapal Baheram mengalami kerusakan akibat hentaman Meriam.

 

Said Osman dan pasukannya dipaksa mundur, dan akhirnya merekam sejenak berlindung disebuah teluk seraya memperbaiki kerusakan yang terjadi pada kapal Baheram.

 

Dari teluk yang sekarang kita kenal dengan nama ‘Teluk Mundur’ ini pasukan Said Osman kembali mengatur strategi untuk kembali menyerang pasukan dari Kerajaan Pelalawan yang ada di Kuala Sungai Mempusun ini.

 

Serangan kembali mereka laklukan, peperangan sengit terjadi hingga bebeerapa hari dan kemudian kapal Baheram kembali mendapat kerusakan parah akibat hentaman meriam.

 

Kerudakan parah pada kapal serta gugurnya beberapa pasukan, Said Osman akhirnya memutuskan untuk kembali mundur dan balik ke Kerajaan Siak.

 

Selanjtunya, mereka kembali berlayar ke Siak Sri Indrapura. 

 

Kisah sejarah menuturkan kala itu mereka hanya sampai di seberang Kampung Rangsang dan disana Kapal Baheram tenggelam dan sejak itu pula wilayah itu diberi nama ‘Rasau Baheram’ mengambil nama kapal yang tenggelam diperairan tersebut.

 

Walaupun kapal Baheram tenggelam, Said Osman dan Pasukannya mampu sampai di Siak Sri Indrapura.

 

Setelah Pasukan Said Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :

 

Empak-empak diujung Galah

Anak Toman disambar Elang

Pelalawan dirompak, haram tak kalah

Baheram Osman berlayar pulang

Perebutan Kekuasaan Pelalawan

 

Penyerangan Siak Sri Indrapura terhadap Kerajaan Pelalawan menimbulkan kebencian yang sangat luarbiasa.

 

Catatan sejarah Pada masa itu mengungkapkan bahwa Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan, mengambil sikap untuk menentang Siak.

 

Uniknya,

 

Sikap penentangan oleh kerajaan Pelalawan bukan dalam bentuk penyerangan ataupun konplik namun penentangan ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang tumbuh dan jika berjantung ke arah Siak dipancung, 

 

Selanjutnya jika ayam yang berkokok  menghadap ke Siak maka ayam tersebut akan dibunuh.

 

Bukti penentangan terhadap Siakpun masih ada hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak).